Rabu, 31 Desember 2025

Ekonomi Tertekan, Belanja Bergeser: Konsumen Relakan Kebutuhan demi Produk Viral


 Ekonomi Tertekan, Belanja Bergeser: Konsumen Relakan Kebutuhan demi Produk Viral Riset Inventure–Alvara 2025 mengungkap 61% konsumen rela memangkas belanja kebutuhan pokok demi produk viral. (Tangkapan Layar)

JAKARTA, ARAHKITA.COM – Tekanan ekonomi yang belum sepenuhnya mereda ternyata tidak serta-merta membuat konsumen berhenti berbelanja. Sebaliknya, riset terbaru justru menunjukkan adanya pergeseran prioritas yang cukup ekstrem: sebagian konsumen rela memangkas belanja kebutuhan pokok demi membeli produk yang sedang viral atau bernuansa premium.

Temuan ini terungkap dalam Survei Inventure–Alvara 2025 terhadap 589 responden. Hasilnya, 61 persen responden mengaku mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan dasar agar tetap bisa membeli produk baru yang tengah ramai dibicarakan, sementara 39 persen lainnya memilih bertahan tanpa melakukan pengalihan belanja.

Fenomena tersebut mencerminkan wajah baru konsumen di tengah apa yang disebut sebagai dormant economy—situasi ekonomi yang bergerak lambat dan penuh ketidakpastian. Dalam kondisi ini, belanja tidak lagi semata soal fungsi dasar, melainkan juga menyangkut kebutuhan emosional, identitas sosial, dan rasa keterhubungan di ruang digital.

Produk viral dinilai menawarkan nilai yang lebih luas. Bukan hanya soal kualitas atau daya tahan, tetapi juga pengalaman, status simbolik, hingga perasaan “ikut arus” yang membuat konsumen tetap merasa relevan. Pola ini mengemuka dalam forum Business Outlook 2026: Winning in The Era of Dormant Economy yang digelar di Jakarta, Selasa (9/12/2025).

Managing Partner Inventure, Yuswohady, menjelaskan bahwa perilaku ini bukan sekadar konsumsi impulsif, melainkan bagian dari logika frugal yang semakin matang. Menurutnya, konsumen saat ini tidak hanya berhemat, tetapi juga memilih dengan sangat selektif.

“Frugal consumer tidak sekadar mengencangkan ikat pinggang. Mereka mengalihkan belanja ke kategori yang memberi reward emosional dan sosial. Kebutuhan pokok bisa ditunda, tetapi kebutuhan untuk tetap merasa relevan dan up-to-date dianggap jauh lebih bermakna,” ujarnya.

Karakter utama Frugal Consumer terlihat jelas dalam pola ini. Mereka tidak sepenuhnya menahan konsumsi, melainkan melakukan realokasi strategis: menekan pos belanja rutin yang dianggap kurang memberi makna, sambil mengalokasikan dana pada produk yang memberikan value, utility, atau bahkan status boost yang lebih tinggi—meski harganya tidak murah.

Bagi industri ritel, perubahan ini menjadi sinyal penting. Kebutuhan pokok tidak lagi otomatis menjadi prioritas utama, sementara produk lifestyle, premium, dan berbasis tren justru menunjukkan daya tarik kuat, meski kondisi ekonomi masih penuh tekanan. Di tengah ketidakpastian hidup, konsumen mencari sesuatu yang terasa seperti hadiah bagi diri sendiri.

Singkatnya, konsumen tetap berhemat—namun berhemat secara selektif. Banyak hal bisa ditunda, tetapi tidak untuk apa pun yang membuat mereka merasa berdaya, relevan, dan tetap terhubung dengan dunia di sekitarnya.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Ekonomi Terbaru