Loading
(Ki-ka) Chief Economist Permata Bank Josua Pardede, Head of Industry & Regional Research Permata Bank Adjie Harisandi, dan Head of Macroeconomic & Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman memaparkan laporan PIER Economic Outlook Reviving Domestic Growth, Navigating Global Shocks. (ANTARA/HO-Permata Bank)
BANDUNG, ARAHKITA.COM – Permata Bank melalui lembaga risetnya, Permata Institute for Economic Research (PIER), optimistis terhadap prospek perekonomian Indonesia dalam dua tahun ke depan. Lembaga tersebut memperkirakan ekonomi nasional berpotensi tumbuh hingga 5,2 persen pada 2026, didukung stabilitas makro dan turunnya tekanan global.
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menjelaskan bahwa tren pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terjaga dengan capaian 5,04 persen pada kuartal III-2025. Menurutnya, momentum ini diperkirakan menguat secara bertahap memasuki 2026.
“Kami memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2025 berada di kisaran 5,0–5,1 persen, kemudian naik pada 2026 ke level 5,1–5,2 persen,” ujar Josua dalam keterangan tertulis yang diterima di Bandung, Senin (8/12/2025). Meski begitu, ia menilai tantangan utama tetap berada pada keseimbangan antara akselerasi pertumbuhan dan stabilitas makro.
Tekanan Global Mereda, Tapi Risiko Masih Ada
Di tingkat global, harga energi tercatat menurun sepanjang 2025. Sebaliknya, harga komoditas pertanian justru meningkat seiring permintaan yang stabil. Namun, pada 2026, ekonomi dunia diperkirakan sedikit melambat, terutama akibat perlambatan ekonomi China dan meningkatnya tensi perdagangan dengan Amerika Serikat.
PIER juga memperkirakan adanya penurunan lanjutan pada suku bunga acuan Amerika Serikat, The Fed Funds Rate (FFR). Proyeksinya, FFR akan turun 25 basis poin menjadi 3,75 persen pada Desember 2025, lalu kembali turun ke 3,50 persen pada 2026. Pelonggaran ini berpotensi mendorong aliran modal ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dampak bagi Komoditas dan Investasi
Untuk komoditas ekspor utama Indonesia, PIER memperkirakan harga minyak, batu bara, dan nikel akan melemah pada 2026. Sementara itu, harga Crude Palm Oil (CPO) diperkirakan justru naik secara moderat berkat konsumsi global yang tetap solid dikutip Antara.
Sektor keuangan domestik diprediksi memasuki fase yang lebih positif. Pelemahan bertahap pada indeks dolar AS dan yield US Treasury akan memberi ruang bagi potensi penguatan aset keuangan domestik, termasuk Surat Berharga Negara (SBN) yang diperkirakan mencatat penurunan imbal hasil pada 2026. Pasalnya, kebijakan moneter The Fed dan Bank Indonesia (BI) sama-sama mengarah pada pelonggaran.
Rupiah Menguat, Inflasi Terkendali
Rupiah diproyeksikan menguat perlahan, didorong aliran modal investasi langsung maupun portofolio. PIER memperkirakan rupiah berada di kisaran Rp16.200–Rp16.400 per dolar AS pada akhir 2026.
Dari sisi harga, inflasi diperkirakan naik secara moderat namun tetap rendah. “Perkiraan kami inflasi akan berada di 2,0–2,5 persen pada akhir 2025, dan bertahan di level serupa sepanjang 2026,” jelas Josua. Hal ini memberi ruang bagi BI untuk menerapkan kebijakan yang lebih akomodatif.
Surplus Perdagangan Tetap Terjaga
Sektor eksternal Indonesia diperkirakan stabil, dengan surplus perdagangan yang masih berlanjut meski sedikit menyempit. Transaksi berjalan juga dinilai aman, sehingga memberi peluang bagi BI untuk melanjutkan pelonggaran moneter hingga 2026.
Dari sisi investasi, prospek masuknya modal asing tetap solid, didukung fundamental ekonomi yang kuat serta stabilitas politik yang membaik. Cadangan devisa diperkirakan meningkat, sementara arus portofolio berpeluang pulih dalam jangka menengah seiring meredanya tekanan global.