Selasa, 30 Desember 2025

Menjelang RDG BI, Ekonom Beda Pandangan Soal Arah BI-Rate


 Menjelang RDG BI, Ekonom Beda Pandangan Soal Arah BI-Rate Ekonom Beda Pandangan Soal Arah BI-Rate. (Antaranews/Antara Foto/Muhammad Adimaja)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Menjelang pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada Rabu ini, para ekonom terbelah soal arah kebijakan suku bunga acuan atau BI-Rate. Sebagian memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga di level 4,75 persen, sementara lainnya menilai ada ruang untuk pemangkasan ringan menjadi 4,50 persen.

Kepala Ekonom BCA David Sumual memperkirakan bank sentral akan menahan suku bunga pada Oktober ini. Ia menilai langkah front loading yang dilakukan BI sebelumnya sudah cukup antisipatif terhadap potensi penurunan suku bunga The Fed. Menurutnya, tekanan arus keluar modal belakangan ini juga menjadi pertimbangan penting.

“Outflow cukup besar terjadi di instrumen SRBI dan SUN dalam sebulan terakhir,” kata David.

Namun ia menilai penurunan suku bunga tetap mungkin dilakukan di akhir tahun jika rupiah stabil dan The Fed melanjutkan kebijakan pelonggaran moneternya.

Pandangan serupa disampaikan Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky. Ia mencatat bahwa penurunan suku bunga The Fed biasanya mendorong arus modal masuk ke negara berkembang, namun kali ini justru terjadi sebaliknya. Dalam sebulan terakhir, investor asing tercatat menjual surat utang pemerintah senilai 1,88 miliar dolar AS. Akibatnya, nilai tukar rupiah melemah ke Rp16.577 per dolar AS per 17 Oktober 2025, turun 3,05 persen secara tahunan.

Bank Indonesia merespons pelemahan tersebut dengan langkah stabilisasi yang membuat cadangan devisa turun menjadi 148,7 miliar dolar AS. Menurut Riefky, menjaga suku bunga acuan tetap di level 4,75 persen akan membantu menahan tekanan terhadap rupiah sekaligus memperkuat persepsi independensi BI.

Namun, dilansir Antara, tidak semua ekonom sepakat. Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menilai ada peluang bagi BI untuk menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 4,50 persen. Ia berpendapat bahwa inflasi inti yang stabil, suku bunga riil yang masih tinggi, dan permintaan domestik yang belum pulih menjadi alasan kuat untuk pelonggaran kebijakan. Menurutnya, penurunan suku bunga dapat membantu mendorong konsumsi, penyaluran kredit, dan aktivitas sektor riil.

Likuiditas perbankan yang membaik dinilai mendukung transmisi kebijakan moneter agar penurunan bunga lebih cepat tersalurkan. Selain itu, tekanan terhadap rupiah relatif terjaga berkat surplus neraca perdagangan, intervensi BI di pasar valas, serta revaluasi cadangan devisa.

Kepala Departemen Makroekonomi Indef M. Rizal Taufikurahman juga berpandangan bahwa ruang untuk pelonggaran suku bunga sudah terbuka. Ia menilai penurunan 25 basis poin tidak akan menimbulkan kejutan di pasar keuangan karena ekspektasi tersebut sudah diantisipasi sejak awal. Dengan adanya stimulus fiskal tambahan di kuartal IV, kebijakan moneter yang sedikit lebih longgar justru dapat memperkuat permintaan agregat dan mendorong penyaluran kredit yang masih tumbuh sekitar 7–8 persen per tahun.

“BI idealnya memangkas suku bunga 25 basis poin ke 4,50 persen karena ruang inflasi aman dan sektor kredit butuh dorongan. Risiko outflow tetap ada, tetapi bisa dikendalikan melalui intervensi valas yang terukur. Namun jika rupiah kembali tertekan, menahan suku bunga juga bukan langkah keliru karena stabilitas tetap menjadi prioritas utama,” ujar Rizal.

Editor : Lintang Rowe

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Ekonomi Terbaru