Loading
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menjawab pertanyaan wartawan saat jumpa pers di Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Rabu (10/9/2025). ANTARA/Genta Tenri Mawangi.
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Presiden Prabowo Subianto memberi lampu hijau atas rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menarik dana mengendap di Bank Indonesia (BI) sebesar Rp200 triliun. Dana tersebut merupakan bagian dari total simpanan pemerintah senilai Rp425 triliun yang selama ini tersimpan sebagai Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA).
Langkah ini diambil pemerintah untuk mempercepat perputaran uang di masyarakat sekaligus memperkuat penyaluran kredit perbankan. Dengan begitu, perekonomian diharapkan dapat bergerak lebih cepat menuju target pertumbuhan yang lebih tinggi.
“Presiden sudah setuju,” ujar Purbaya saat jumpa pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (10/9/2025) malam.
Menurut Purbaya, dana tersebut akan ditempatkan di perbankan agar bank memiliki likuiditas cukup besar untuk disalurkan sebagai kredit. “Tujuannya supaya bank punya cash yang banyak. Mereka tidak bisa menaruhnya di tempat lain selain menyalurkannya dalam bentuk kredit. Jadi, ini memaksa mekanisme pasar berjalan,” jelasnya.
Pemerintah juga menegaskan dana ini tidak boleh kembali berputar ke instrumen Surat Utang Negara (SUN). Purbaya menekankan, tujuan utama kebijakan ini adalah agar uang benar-benar beredar di masyarakat dan mendorong aktivitas ekonomi riil.
Baca juga:
Prabowo Restui Rencana Penarikan Rp200 Triliun dari BI untuk Dorong Kredit dan Pertumbuhan Ekonomi“Ibaratnya seperti deposito. Kalau pemerintah butuh, bisa ditarik. Tapi penyalurannya tidak boleh untuk beli SUN. Kita minta BI tidak menyerap dana itu, supaya benar-benar masuk ke sistem perekonomian,” tambahnya.
Menjawab kekhawatiran soal potensi inflasi, Purbaya memastikan ruang pertumbuhan Indonesia masih sangat lebar. Ia menegaskan inflasi baru akan menjadi ancaman jika pertumbuhan ekonomi menembus 6,5 persen atau lebih, sementara saat ini masih berada di kisaran 5 persen.
“Sejak krisis, kita belum pernah tumbuh 6,5 persen. Jadi ruang untuk menambah stimulus masih terbuka lebar, tanpa harus khawatir hiperinflasi,” pungkasnya dikutip Antara.