Rabu, 31 Desember 2025

Oplosan Beras SPHP Dinilai Mengancam Program Pengentasan Kemiskinan


 Oplosan Beras SPHP Dinilai Mengancam Program Pengentasan Kemiskinan Beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) ukuran 5 kg. ANTARA/HO-Humas Bapanas

JAKARTA, ARAHKITA.COM – Praktik pengoplosan beras subsidi atau beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) oleh oknum tidak bertanggung jawab dinilai berpotensi menggagalkan misi besar pemerintah dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia.

Peneliti dari Centre of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, menyatakan bahwa pengoplosan beras kualitas rendah ke dalam kemasan SPHP adalah bentuk penyelewengan serius yang bukan hanya merugikan negara secara ekonomi, tetapi juga melemahkan dampak sosial dari program bantuan pangan ini.

"Negara dirugikan karena program SPHP tidak tepat sasaran. Masyarakat berpenghasilan rendah yang seharusnya terbantu justru tidak menikmati manfaat yang semestinya," ujar Eliza saat dihubungi di Jakarta, Minggu (27/7/2025).

SPHP: Program Subsidi Pangan untuk Masyarakat Miskin

SPHP merupakan kebijakan intervensi pemerintah melalui Bulog untuk menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga beras, khususnya bagi masyarakat kelas bawah. Namun, ketika beras bermutu rendah disulap menjadi beras SPHP dan dijual lebih mahal, dampaknya sangat merugikan konsumen.

Seperti pada kasus di Riau yang terungkap baru-baru ini, seorang pelaku berinisial R diduga menjual beras reject seharga Rp6.000 per kg dengan kemasan SPHP dan harga jual hingga Rp13.000 per kg. Akibatnya, masyarakat miskin kesulitan memperoleh beras subsidi dengan kualitas dan harga yang seharusnya.

“SPHP itu kualitasnya lebih baik karena disubsidi. Kalau isinya diganti beras reject, ya konsumen jelas dirugikan,” tegas Eliza.

Dampak Ganda: Meningkatkan Kerentanan Ekonomi

Menurut CORE, pengoplosan seperti ini membuat subsidi pangan salah sasaran, yang pada akhirnya bisa memperluas ketimpangan dan memperburuk kemiskinan. Masyarakat yang seharusnya terbantu justru terpaksa membeli beras komersial yang lebih mahal.

Untuk mengatasi hal ini, CORE merekomendasikan agar distribusi SPHP dilakukan langsung kepada penerima manfaat, seperti melalui koperasi komunitas atau operasi pasar keliling. Selain itu, Eliza menekankan pentingnya pengawasan digital untuk memantau jalur distribusi setiap kilogram beras subsidi.

“Penyaluran SPHP harus melalui saluran resmi pemerintah agar tidak bocor atau dimanipulasi,” tambahnya dikutip Antara.

Modus Pengoplosan dan Tindak Hukum

Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan menyampaikan bahwa penggerebekan kasus ini merupakan tindak lanjut instruksi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam menangani kejahatan pangan. Dalam operasi yang dipimpin Direktur Reskrimsus Polda Riau, Kombes Ade Kuncoro, ditemukan dua modus utama:

1. Mencampur beras medium dan reject, lalu dikemas ulang sebagai beras SPHP.

2. Membeli beras murah lalu mengemas ulang dalam karung bermerek premium untuk menipu konsumen.

Barang bukti yang diamankan termasuk 79 karung beras SPHP oplosan, karung kosong SPHP, mesin jahit, benang, hingga timbangan digital. Pelaku membeli beras berkualitas buruk dari seorang berinisial S di Kabupaten Pelalawan.

“Negara sudah memberikan subsidi, tapi disalahgunakan demi keuntungan pribadi. Ini bukan sekadar penipuan, tapi kejahatan sosial,” ujar Irjen Herry.

Tersangka dijerat dengan pasal-pasal dalam UU Perlindungan Konsumen, dengan ancaman maksimal lima tahun penjara dan denda hingga Rp2 miliar.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Ekonomi Terbaru