Mendagri Dapat Memberhentikan Kepala Daerah


 Mendagri Dapat Memberhentikan Kepala Daerah Ilustrasi: Kepala Daerah. (Net)

SEPERTI saya katakan pada tulisan saya di rubik Dapur Hukum ini sebelumnya bahwa Presiden, Gubernur dan Bupati/Wali Kota merupakan satu batang tubuh NKRI yang tak dapat terpisahkan. Jadi hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dalam hal ini kepada daerah bersifat hierarkis, dari atas ke bawah meski bukan dalam bentuk atau sistem komando seperti di TNI atau di kepolisian.

Karena hubungan tersebut berbentuk hierarkis, maka yang diperlukan adalah adanya unsur ketaatan dari level bawah ke level atas, dari kepala daerah ke Kementerian Dalam Negeri atau Mendagri.

Meskipun ketaatan itu bukan ala militer atau kepolisian tersebut. Semua pejabat negara pasti memahami ini.

Karena betapa pentingnya ketaatan ini, maka pada tahun 2017, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri pernah mengembangkan indeks ketaatan daerah. Tujuannya untuk mengukur ketaatan pemerintah daerah dalam menjalankan kewajibannya, terutama yang berkaitan dengan aturan yang sejalan dengan pemerintah pusat.

Indeks tersebut, seperti dikutip Kompas.id diperlukan untuk meningkatkan relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Relasi yang baik akan tercipta sinergi karya yang baik pula antara pusat dan daerah. Supaya bisa terjadi kontrol yang bagus antara pusat dengan daerah.

Masalah Ketaatan Kepala Daerah

Memang ada sejumlah masalah yang hingga kini masih terjadi juga dalam kaitan dengan ketaatan. Salah satu contohnya, menyitir Infublik.id, pernah ada kejadian di tahun 2018 di mana Mendagri Tjahyo Kumolo menonaktifkan Bupati Kepulauan Talaud, karena bepergian tanpa minta izin.

Artinya, bahwa Mendagri dapat memberhetikan Kepala Daerah. Mendagri adalah pembantu presiden di bidang pemerintahan dalam negeri. Dan Mendagri memiliki kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Gubernur diangkat dan diberhentikan berdasarkan keputusan presiden atas usul Mendagri. Sedangkan Bupati dan Wali Kota diangkat berdasaran Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri atas usul gubernur.

Dalam tata aturan penonaktifan atau pemberhentian itu tidak lain sebagai perwujudan organisatoris kerja pemerintahan dalam sebuah negara kesatuan yang bernama Republik Indonesia. Bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan bukan negara federasi.

Kata Abu Daud Busroh, Negara Kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara seperti dalam negara federasi. Jadi, dalam negara kesatuan hanya ada pemerintah pusat yang memegang kekuasaan.

Demikian juga L.J. Van Apeldoorn menulis, suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat. Pemerintah provinsi tidak mempunyai hak mandiri. Sama halnya dengan tulisan Sri Sumantri, di mana adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonomi, bukanlah hal itu ditetapkan dalam konstitusinya tetapi karena masalah itu adalah hakikat daripada negara kesatuan.

Tentu saja semua itu dalam kinerja atau kekaryaan tidak bertentangan dengan demokrasi yang membingkai kehidupan setiap pribadi dalam kehidupan bernegara, baik warga negara biasa maupun pejabat publik atau pejabat negara. Bahwa dalam kehidupan bersama berbangsa dan bernegara ada demokrasi dan ada etika atau kode etik yang harus dipatuhi semuanya. Supaya kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan ada tata tertib yang diatur peraturan perundang-undangan, sehingga kebersamaan menjadi teratur.

Dan dalam tata kehidupan sebagai pejabat negara antara pusat dan daerah, soal etika dan norma dalam melaksanakan urusan pemerintahan adalah kewenangan daerah, terutama dalam kaitan dengan kehidupan pejabat daerah yang semuanya memiliki tata aturan tersendiri yang bernaung di bawah pejabat daerah seperti Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Soal etika, kode etik, norma dan moral pejabat punya aturan tersendiri yang tentu kerap menjadi masalah yang sensitif karena berkaitan dengan banyak hal, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme serta penyalahgunaan wewenang yang tentu ada aturan hukum atau peraturan perundang-undangan sekaligus sumpah jabatan yang harus dipegang teguh dan tidak boleh dilanggar

Pemberhentian Kepala Daerah

Akhirnya, kita kembali kepada masalah pemberhentian kepala daerah oleh Mendagri. Bahwa soal pemberhentian kepada daerah ini sampai hari ini kadang masih menjadi kontroversi. Kontroversi yang menyangkut bisa atau tidak Mendagri memberhentikan kepala daerah.

Kontroversi itu berkaitan dengan beberapa waktu lalu pada masa Covid-19 dimana Mendagri Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi No. 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk pengendalian penyebaran Covid-19.

Penulis tidak mau memperpanjang polemik tersebut. Hanya seperti judul tulisan ini, penulis hanya bersikap bahwa dengan adanya asas ketaatan, dan dalam kaitan dengan hierarkis kerja, Mendagri dapat memberhentikan seorang kepala daerah, khususnya bupati dan wali kota.

Itu jelas diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang No. 3 Tahun 2014, bahwa apabila memenuhi unsur- unsur tertentu seperti (1) berakhirnya masa jabatan (2) tak dapat menjalankan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut 6 bulan, (3) melanggar sumpah jabatan (4) tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah atau wakil kepada daerah (5) melanggar larangan bagi kepala daerah dan seterusnya.

Dengan adanya pasal ini, maka semua bentuk polemik harus diakhiri.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Dapur Hukum Terbaru