Penataan Aset Desa, Perspektif Politik NKRI


 Penataan Aset Desa, Perspektif Politik NKRI Ilustrasi: Pengelolaan aset desa. (Net)

Oleh: Dr. Widodo Sigit Pudjianto,S.H,M.H

Membayangkan Indonesia, khususnya Jakarta, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, di era reformasi, terutama di era Orde Baru, tak ubahnya kita membayangkan Batavia tempo dulu, sejak Belanda merebutnya 30 Mei 1619. Batavia tempo dulu di bawah kekuasaan Belanda adalah Batavia yang memosisikan dirinya sebagai pusat “komando” pemerintahan yang dapat mengendalikan seluruh daerah di Indonesia ke dalam genggaman gurita kekuasaannya.

Dengan kata lain, Batavia tempo dulu, seperti Jakarta di era Orde Baru yang menampilkan diri ibarat “raksasa rakus” yang dapat menguasasi segalanya; ekonomi dan politik. Jakarta ibarat sentrum yang menampung semua “setoran kekuasaan” dari seluruh daerah di Indonesia. Jakarta tampil bak “server besar” yang melaksanakan segala jenis transaksi politik dan ekonomi di seluruh Nusantara.

Akibat dari politik ekonomi Jakarta ala Batavia seperti itu, memunculkan apa yang kita lihat selama beberapa dekade, yaitu tumbuhnya fenomena etatisme atau penguatan peran negara yang begitu dominan, sedangkan kota dan desa di berbagai pelosok negeri, menjadi kerdil dan lemah.

Penataan Aset Desa, Sebuah Keharusan

Dengan begitu sentralistisnya Jakarta atau pemerintahan negara ini, telah melahirkan begitu banyaknya hal buruk, baik dalam hal politik maupun dalam hal tata kelola perekonomian secara nasional. Atau terjadi begitu banyak masalah yang sifatnya mikrokospis dan kecil-kecil dan mungkin dianggap sepele, tetapi sebenarnya sangat fundamental, karena berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari warga negara di berbagai daerah. Atau, Jakarta hanya terus-menerus melahirkan gagasan politik sebagai besaran dan abstraksi yang indah, tetapi tidak menyentuh kebutuhan nyata warga di seluruh negeri.

Contoh yang paling jelas adalah dugaan terabainya peran negara dalam penataan aset desa yang bertebaran di seluruh pelosok negeri ini, dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Rote. Mengingat aset desa dalam Permendagri No. 1 Tahun 2016 begitu banyak cakupannya, seperti tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air desa, permandian umum, dan lain-lain. Aset-aset yang biasa disebutkan sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (ABDes) tersebut selama ini digunakan oleh aparat desa untuk kesejahteraan mereka.

Sebenarnya APBDes merupakan bagian dari APBD Kabupaten. Kepala desa pun seharusnya secara rutin melaporkan penggunaan aset desa kepada kepala daerah kabupaten (Bupati). Tetapi, fakta di lapangan tidak demikian, karena sejak lama tidak dilakukan penataan dan pendataan secara akurat aset-aset milik desa. Ada dugaan telah terjadi pembiaran dengan tidak tercatatnya aset desa dalam neraca aset nasional. Itu berefek langsung pada permasalahan tata kelola keuangan desa dan daerah, dimana tidak terjadi sinkronisasi antara keuangan desa dengan keuangan kabupaten.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Dapur Hukum Terbaru