ARAH DESTINASI | ARAH PROPERTI | ARAH POLITIK | ARAH DESA | SCHOLAE

Update News

Suara Kita

Kesehatan Pejabat Publik

Rabu , 01 Maret 2023 | 11:30
Kesehatan  Pejabat Publik
Drs. GF. Didinong Say, Diaspora Maumere, tinggal di Jakarta. (Foto: Istimewa)
POPULER

Oleh: GF Didinong Say

SALAH satu persyaratan kelayakan dalam kontestasi politik bagi calon pejabat publik adalah kesehatan. Yaitu kesehatan jiwa dan raga.

Para calon pejabat itu wajib memeriksakan dirinya secara lengkap (general chek up) kepada dokter ahli medis maupun kepada psikiater ahli ilmu  kewarasan jiwa. Rekam medik hasil dari pemeriksaan berikut skor dan rekomendasi harus diserahkan kepada pihak penyelenggara kontestasi politik untuk menjadi bahan penilaian kelayakan keikutsertaan sang calon.

Sederhananya, masyarakat tidak boleh nanti memilih atau mendapatkan pejabat atau pemimpin yang sakit sakitan, baik jiwa maupun raga. Sering terjadi bahwa pejabat yang dipilih ternyata kemudian meninggal dunia karena serangan jantung atau penyakit bawaan lainnya yang sudah diketahui sebelumnya.

Itulah Indonesia. Rekam medik yang ilmiah dan objektif pun bisa diolah dibeli atau digelapkan. Sekedar contoh, tahun 1999 pada pileg di Maumere, ada caleg terpilih dan dilantik namun kemudian tidak dapat menjalankan tugasnya dengan layak karena ternyata yang bersangkutan itu gila. Caleg ini sebenarnya sejak dini telah menunjukkan ciri ODGJ. Istilah di kampung, terlalu pintar sampai gila. Tetapi ia terpilih juga karena populer. Namun bagaimana wakil rakyat itu dapat melaksanakan tugas konstitusinya bila setiap hari ia datang ke kantor dalam keadaan mabuk, bau pesing atau tidak berpakaian lengkap?

Mens Sana In Corpore Sano

Ini pepatah lama yang sesungguhnya relatif. Orang Flores bilang, itu sudah tidak laku lagi.  Sangat relatif. Banyak orang bertubuh tegap sehat sempurna dengan bonus gagah ganteng atau cantik gemulai. Tetapi jiwanya mungkin memiliki kecenderungan serakah egoistik, klepto, pedofil, dlsbnya. Sebaliknya pun begitu. Ada banyak orang baik, pintar dan hebat namun berbadan ringkih atau memiliki sejumlah hambatan fisik lainnya. Gus Dur adalah contoh yang sempurna. Penglihatan tidak tidak jelas tetapi tetap dipilih menjadi presiden Indonesia.

Dalam alam demokratis, masyarakat seharusnya ditawarkan calon pemimpin yang sehat jiwa raga. Ini soal kekuasaan dan kepentingan umum. Hanya yang memenuhi persyaratan yang boleh mengikuti kontestasi untuk dipilih rakyat sebagai pejabat. Bukan kucing dalam karung. Menyesal kemudian itu parcuma.

Sebuah Pengalaman

Tahun 2003, saya pernah mengantarkan seorang kerabat ke Grogol, ikut tes kejiwaan dalam rangka pilgub. Di tempat itu hadir juga bacagub dari provinsi lain untuk kepentingan yang sama. Mereka harus mencontreng pilihan jawaban pada lembar kuesioner yang amat banyak. Ada sekitar 3000 pertanyaan. Butuh waktu seharian untuk mengerjakannya. Hasil jawabannya akan dinilai (skor) secara paradigmatik oleh psikiater penguji. Dalam penilaian tersebut terdapat penjelasan tentang kecenderungan kecenderungan kejiwaan bacaleg terkait. Dari penjelasan tersebut muncul konklusi dalam bentuk rekomendasi tentang kelayakan bacaleg secara kesehatan jiwa.

Ketika saya tanya tentang hasil uji psikiatri tersebut, psikiater yang bersangkutan justru menjawab secara alegoris bahwa kerabat saya itu lebih cocok menjadi pemimpin gangster. Sedangkan untuk Abdullah Puteh dari Aceh ia katakan bahwa bahwa kawan ini ada kecenderungan korup.

Tetapi persoalan sesunghuhnya bukan di hasil pemeriksaan  kesehatan jiwa tersebut.  Sang psikiater pemeriksa justru saat itu menegaskan bahwa berapapun dia dibayar, ia tak akan merubah hasil. Itu soal integritas dan profesional.

Persoalannya adalah bahwa hasil pemeriksaan tersebut ternyata bisa saja diedit di jasa percetakan pinggiran jalan. Maka mutlak penting bagi penyelenggara pemilu  (KPU) untuk melakukan crosschek dan verifikasi teliti terhadap autentisitas dokumen sang calon. Dengan prosedur seperti ini kasus seperti Jokowi Undercover (Bambang Tri dkk) tidak perlu terjadi. Kecuali kalau pihak penyelenggara pemilu juga masuk angin.

Pejabat Publik di NTT

Dugaan praktik korup, berbagai kebijakan yang kontroversial, sikap dan pernyataan yang sensional

bombastis, sikap agresif bahkan represif, janji palsu, dan lain lain tindakan menyimpang pejabat pemimpin di NTT selama ini adalah hal hal yang bertentangan dengan semangat reformasi. Hal ini juga menjadi faktor signifikan ketertinggalan dan keterbelakangan NTT selama ini.

Demokrasi memberi ruang bagi kontrol publik dalam penyelenggaraan kekuasaan. Apalagi bila kanal aspirasi dan sistem cek and balance tersumbat.

Pemimpin atau pejabat itu juga manusia biasa yang boleh dan harus dikritisi. Ia bukan wakil Allah yang can do no wrong.

Ke depan dalam berbagai kontestasi politik, publik NTT perlu mencermati segala hal tentang calon pemimpin. Visi, misi, rekam jejak, integritas dan lain lain. Secara khusus, publik perlu juga teliti menelisik autensitas dokumen kesehatan jiwa raga calon pemimpin.

Jangan sampai yang dipilih rakyat itu ternyata megaloman, pemimpin gangster, berbakat gila, atau calon koruptor yang memiliki high skill and intelligence fraud.

 

Drs. GF. Didinong Say, Diaspora Maumere, tinggal di Jakarta

Editor : Farida Denura
KOMENTAR