Oleh: Simply da Flores
‘RAWIN RANA‘ artinya Kerajinan Anyam yang ada dalam komunitas masyarakat adat Krowe, di wilayah Kabupaten Sikka, Flores, NTT. Selain di wilayah komunitas adat Krowe, ada juga di komunitas adat Lio, PaluE dan Tana Ai, yang bermukim di wilayah Kabupaten Sikka. Kabupaten lain di Propinsi NTT, juga memiliki aneka ragam hasil karya anyaman.
Ada berbagai bentuk hasil karya sesuai fungsinya bagi komunitas. Namanya juga berbeda-beda, sesuai bahasa lokal komunitas pemiliknya.
"Natar Tana Ata Krowe", artinya kampung halaman komunitas adat budaya Krowe. Natar Tana, tidak saja soal tempat kampung halaman pemukiman komunitas adat budaya Krowe, tetapi menyangkut totalitas historis - sejarah kehidupan manusia suku bangsa Krowe hingga kini.
Komunitas Adat Budaya Lio menyebut kami sebagai Ata Kowe Jawa - Orang Krowe - Jawa, karena digabungkan dua kelompok komunitas di sebelah Timur, wilayah Lio. Masyarakat Tana Ai menyebut kami sebagai Ata Kowe-t. Masyarakat Muhan, Jawa Lamaholot menyebut kami sebagai Ata Kiwan - Ata Krowin.
Saya coba bagikan pengalaman saya, sejak kecil hingga kenyataan yang ada saat ini, di wilayah kami komunitas Ata Krowe.
Khasanah "Rawin Rana" Ata Krowe
Wilayah Komunitas adat Ata Krowe tersebar antara gunung Kimang Buleng - di bagian Barat hingga gunung Egon - di bagian Timur, lalu bagian Utara dan Selatan berbatas laut. Ada banyak kampung adat dan suku yang menghuni, juga area wilayah sub etnik yang berkelompok, karena dialek bahasa dan sejarahnya. Sekarang menjadi bagian dalam wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Sikka - Propinsi NTT.
Kalau secara komunitas Adat Budaya, di bagian Barat berbatas dengan Komunitas Adat Lio dan Palue, di bagian Timur dengan Komunitas adat budaya Tana Ai, Muhan - Jawa Lamaholot, di Utara dengan Ata Goan (yang dulu berasal dari Kerajaan Goa), yang menempati wilayah pesisir dan beberapa pulau kecil di teluk Maumere. Ada juga komunitas etnik dari China - Ata Sina, dan keturunan Portugis - Ata Bura.
Topografi wilayah adat budaya Krowe adalah berbukit, lembah, hamparan datar, yang memungkinkan masyarakatnya bertani, beternak, berladang dan nelayan. Sudah sejak ribuan tahun terjadi pemukiman komunitas adat, dan sejarah mencatat adanya perjumpaan budaya dengan banyak etnis dari luar wilayah Krowe. Semua perjumpaan ini saling mempengaruhi dalam multi dimensi kehidupan, termasuk ketrampilan dan pengetahuan. Data pengalaman ini paling banyak diwariskan dalam tradisi lisan - oral tradition.
Sebutan "Rawin Rana" dalam bahasa Krowe ini, bisa diartikan secara harafiah yakni Rawin = Ketrampilan, Rana = menganyam.
Dari pengalaman yang saya dapatkan sejak kecil, saya menyimpulkan bahwa Rawin Rana berhubungan dengan upaya menyiapkan alat bantu untuk aneka kebutuhan hidup sesuai zaman. Alat bantu yang diciptakan dari Rawin Rana ini, berkaitan erat dengan mata pencaharian komunitas yakni bertani, berladang, berburu, beternak, pasar dan nelayan. Juga keperluan ritual adat dan kegiatan sosial budaya lainnya.
Alat bantu hasil Rawin Rana ini ada yang berfungsi sementara, insidental, sekali pakai, juga ada yang untuk waktu lama.
Ada juga motif hias dan warna dari sejumlah hasil karya Rawin Rana, yang bisa disebut sebagai kreasi ornamentasi, dengan makna yang terkandung di dalamnya. Soal ornamentasi ini ada sedikit kemiripan dengan ragam hias dalam tenun ikat - Hura Lorun - Loru Rana, yang jauh lebih kompleks dari pada hasil karya Rawin Rana. Mungkin, Rawin Rana bisa dikelompokkan sebagai ketrampilan membuat anyaman untuk perabot rumah tangga, sedangkan Ketrampilan Ikat Tenun - Hura Lorun - Loru Rana, adalah khasanah ketrampilan membuat busana.
Bahan, Hasil dan Manfaat Rawin Rana
Dalam komunitas adat Ata Krowe, untuk melakukan aktivitas Rawin Rana, ada korelasi erat antara bahan, hasil dan manfaat untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Ada manfaat yang sifatnya temporal, ada yang untuk waktu lama.
Bahan untuk Rawin Rana di Krowe adalah daun kelapa, daun lontar, daun enau, lidi lontar dan kelapa, kulit dahan enau dan lontar, kulit pohon durian hutan - mune, kulit pohon waru, daun palem tinggi - tebuk,, daun pandan hutan, ijuk, serta bulu dan bambu.
Hasil anyaman dari daun lontar, dipakai untuk berbagai keperluan seperti piring, tempat simpan bahan makanan, tas jinjing, koper pakaian dan tikar jemur padi jagung, serta wadah penyimpanan gabah di lumbung. Ada sejumlah nama lokal dari hasil anyaman daun lontar. Misalnya, Wajak, Klekar, Seneng, Buku Wua Taa, Kluko, Jegang, Tapa- Rakong, Rebing, Lilin-liun, Teli, Tepa, Kara, Oha pare, Wojong. Fungsinya sesuai nama, dan kiranya lebih jelas jika dengan foto - semoga nanti bisa dibuat dalam tulisan berikut.
Anyaman dari daun kelapa dan enau. Hasilnya berupa tikar alas kerja dan bakul berbagai ukuran. Bakul yang dihasilkan, ada yang bersifat sekali pakai, misalnya dari kebun kembali ke rumah untuk membawa bahan makanan; seperti pisang, singkong, buah, sayur dll. Ada yang dipakai untuk mengisi jagung kering dalam waktu lama. Ada yang dibuat untuk membungkus buah nangka, agar tidak terkena hama. Yang lain dibuat untuk membungkus batang kelapa, agar jadi tanda larangan sebelum panen, dan menadah air hujan. Dalam bahasa lokal, bakul disebuat "kata" , dengan berbagai ukiran dan bentuk sesuai keperluan tersebut di atas. Belasan tahun terakhir, lidi kelapa dan enau dikreasi untuk menganyam piring makan. Ini pelajaran dari ketrampilan yang ada di Bali dan Jawa, sehingga lebih praktis untuk kegiatan di pesta. Sedangkan anyaman dari kulit pelepah kelapa dan lontar, dipakai untuk membungkus dan menghiasi botol, kumbang, guci. Tujuannya agar jangan mudah pecah, dan gampang dibawa atau dipindahkan kemana pun.
Beberapa material dari kulit kayu dan ijuk, dipakai untuk menganyam tali temali, yang digunakan untuk berbagai keperluan. Misalnya, untuk tali jinjingan, tali penahan alat tenun, tali mengikat ternak, tali busur, dll. Anyaman kulit kayu dan ijuk tersebut dengan teknik memintal atau membentuk seperti pita, untuk kebutuhan kontekstual lokal. Nama lokalnya bervariasi sesuai fungsi. Misalnya, tali liun, jarang talin, tali pine.
Dari bahan Bulu dan bambu, dibuat anyaman untuk keranjang, nyiru, dan dinding rumah. Bulu dipepak, lalu dibentuk menurut ukuran yang dibutuhkan, lalu dianyam. Bambu dipotong, dibuat bilah sesuai ukurannya, lalu dianyam untuk dinding dan plafon rumah. Ada aneka motif hias yang dianyam, sehingga kelihatan indah menarik. Nama lokalnya, Kroa dan blasin. Sekarang ada kreasi menganyam untuk keranjang pakaian, lemari dan mebel bambu, menggantikan fungsi tripleks dari toko.
Ada fakta yang memprihatinkan sekitar 25 tahun terakhir ini. Khususnya sejak menyebarnya aneka perabot dari platik di pasar, maka anyaman lokal pun perlahan ditinggalkan. Banyak alasan, antara lain soal praktisnya penggunaan plastik. Misalnya tas plastik dari pabrik dan pasar modern, maka hilanglah fungsi bakul dan anyaman lontar lainnya bagi keseharian masyarakat.
Meskipun semua bahan masih tersedia, ketrampilan masih dimiliki beberapa orang, namun Rawin Rana semakin diabaikan.
Dari Kebutuhan Lokal Komunitas ke Ekraf Milenial
Ada harapan baru pada zaman Milenial, dengan gencarnya pariwisata, dimana dikembangkan ekonomi kreatif - Ekraf, khususnya handucraft dari bahan lokal. Selain khasanh ikat tenun, sekarang banyak konsumen dunia yang peduli menggunakan produk " green label ". Mungkin ada kesadaran ekologis dan kemauan untuk " back to nature ".
Jika peluang konsumen yang peduli akan green product, termasuk handicraft dalam pariwisata, maka Rawin Rana kiranya bisa bangkit, bernafas, berkreasi dan berinovasi. Dari Kerajinan rumah tangga untuk kebutuhan lokal, menjadi bentuk karya ekonomi kreatif.
Jika sungguh diperhatikan serius dengan upaya pemberdayaan dan peningkatan kapasitas bagi masyarakat lokal, maka potensi Rawin Rana bisa menjadi sebuah kekuatan ekonomi rumah tangga, khusunya komunitas penganyam di wilayah NTT, termasuk Ata Krowe.
Satu kebutuhan mendesak ialah pemberdayaan untuk memahami kebutuhan konsumen dari berbagai daerah di luar NTT dan Indonesia, sehingga lahir kemauan belajar ketrampilan untuk menghasilkan produk anyaman, dan berkelanjutan. Peluang pasar ada dan menjanjikan, maka produk perlu dipersiapkan sesuai kebutuhan pasar zaman now.
Sejumlah pihak sedang peduli untuk upaya menangkap peluang ini, antara lain Ibu Farida Denura dan tim, yang tergabung dalam lembaga Rana House NTT di Jakarta. Mereka sedang giat berkolaborasi dengan multi pihak; baik konsumen dan jaringan pasar internasional, maupun lembaga swasta dan pemerintah, serta sejumlah pribadi yang peduli.
Yang menarik adalah sudah terbangun kemitraan dengan pengrajin anyaman dari beberapa komunitas masyarakat di wilayah NTT, untuk upaya peningkatan kapasitas dan produksi anyaman, sesuai peluang pasar yang menjanjikan itu.
Semoga upaya Rana House akan menjadi sebuah terobosan kreasi dan inovasi milenial, yang berdayaguna untuk kesejahteraan ekonomi multi pihak yang terlibat.
Kolaborasi dalam Ekraft di bidang anyaman, dengan kreasi dan inovasi sesuai peluang pasar Milenial. Dengan demikian, khasanah alam dan budaya lokal terus hidup dalam arus zaman, karena bermanfaat dan didayagunakan secara kreatif. Tidak ada kata terlmbat, untuk yang mau belajar dan berkarya, dengan ketekunan berjuang dalam semangat menganyam "kolaborasi, kreasi dan inovasi" untuk kesejahteraan dalam kehidupan yang lebih baik. Semoga.
Simply da Flores, dari Harmony Institute