Delapan Topeng Kehidupan


 Delapan Topeng Kehidupan Manusia saat berinteraksi dengan sesamanya, cenderung bangga dengan 'topeng’' yang dikenakan. (kompasiana)

Oleh: dr Dito Anurogo MSc

MANUSIA saat berinteraksi dengan sesamanya, cenderung bangga dengan ‘’topeng’’ yang dikenakannya. Hal ini dialami terutama insan yang tiada beriman.

Ia cenderung membanggakan karuniaNya seolah ia hidup selamanya. Sebagian insan menjadi kecanduan, karena topeng-topeng kehidupan serupa ‘’candu’’ yang melenakan.

Bila berdonasi, ia bersedia karena ada liputan dan demi mencari sensasi. Bila ada sosialisasi, atau kerja bakti, maka ia lakukan demi reputasi dan gengsi.

Sebagian orang rajin bersilaturahmi dengan pemegang kekuasaan dan pembuat kebijakan demi menikmati roti pembangunan. Zaman-peradaban semakin maju dan beradab, namun kenyataannya, sebagian manusia semakin biadab. Itulah topeng-topeng kehidupan alias ‘’The Masks of Life’’.

Manusia cenderung mengenakan “topeng” yang berbeda bila ia bertemu sesamanya. Bila ia bertemu pejabat, maka ia memakai “topeng” yang berbeda bila ia menyapa rakyat jelata.

Saat bertemu orangtua, seseorang memakai “topeng” berbeda ketika bercanda dengan sahabat lama. Bila bersua sang Guru, maka seseorang cenderung mengenakan “topeng” yang berbeda pula ketika berinteraksi dengan muridnya.

Padahal topeng kehidupan itu semu. Memakainya membuat hati menangis pilu serta jiwa terisak sendu. Namun, saat manusia bertemu Tuhan, maka ia tak mungkin mengenakan “topeng” kehidupan. Tuhan Maha Mengetahui isi hati dan perilaku insan.

Topeng-topeng kehidupan berjuta macamnya. Sebagian di antaranya adalah kekayaan, kepandaian, keturunan, pasangan hidup, karya, relasi-reputasi, teknologi-informasi, Cintakasih. Diperlukan kebijaksanaan sekaligus kearifan agar para pemakainya tidak dilaknat Tuhan, karena cenderung meninabobokan sekaligus menumpulkan akal, hati, jiwa, emosi manusia karena memang memiliki dua sisi berlawanan.

Maksudnya, di satu sisi, topeng-topeng kehidupan merupakan problematika kehidupan, namun di waktu lain dapat menjelma solusi yang amat diharapkan. Singkatnya, topeng-topeng kehidupan membawa masalah sekaligus pemecahannya.

Berikut ini penjelasan singkat tentang topeng-topeng kehidupan.

Pertama, kekayaan. Kekayaan harta itu perlu, namun kekayaan jiwa dan hati itu lebih utama. Kekayaan duniawi memang berpotensi mematikan hati, terutama bila diperoleh bukan dari jalan Ilah. Hati menjadi keruh dan tak lagi peduli. Perilaku menjadi semakin tak terkendali.

Kekayaan materi hanyalah kekayaan ilusi. Dengannya, manusia menjadi semakin jauh dari Ilahi. Kekayaan semacam ini bila semakin berlimpah, maka menjadi semakin tidak berkah.

Nantinya kekayaan ini akan ditanya darimana bersumberkan dan bilamana dipergunakan. Memang sungguh berat pertanggungjawaban atas kekayaan demikian.

Kekayaan sejati adalah kekayaan hati. Hati yang penuh ketulusan dan cinta kasih menuntun manusia menemukan Ilahi. Kekayaan hakiki adalah kekayaan nurani. Dengannya, manusia dapat merasakan kedamaian dalam taman-taman kebahagiaan nan abadi.

Kedua, kepandaian. Kepandaian merupakan amanah Allah yang dititipkan kepada manusia untuk memakmurkan dunia. Kepandaian bukan banyaknya pengetahuan yang dimiliki, melainkan banyaknya kontribusi bagi negeri.

Kepandaian sejati berarti sejauh mana manusia memiliki bekal sebanyak-banyaknya untuk menghadap Ilahi. Kepandaian hakiki, bermula dari kitab suci, bersumberkan referensi kehidupan, risetnya berupa observasi kepada kebenaran dan kesejatian, evaluasinya berupa problematika kehidupan dan kenikmatan duniawi, prosesnya berupa dinamika yang seringkali dilematis.

Betapa banyak cendekiawan yang lulus saat diberi ujian penderitaan, namun gagal saat sedang mengarungi lautan kenikmatan.

Ketiga, keturunan. Seringkali seseorang minder akibat kedua orang tuanya bukan orang berpunya, tidak memiliki jabatan, atau bukan tokoh masyarakat.

Ada juga yang merasa tidak lagi berarti karena tidak memiliki keturunan. Bahkan ada orang yang rumah tangganya berantakan hanya karena pasangannya tidak memberinya keturunan.

Begitu pula sebaliknya. Ada sementara insan yang terlalu membanggakan dirinya itu keturunan raja, pejabat, atau konglomerat, padahal ia belum memberikan kontribusi berarti bagi umat.

Ada juga yang berbangga diri karena berhasil menyekolahkan anaknya hingga ke luar negeri, anak-anaknya berhasil meraih berjuta prestasi, atau seringkali memenangkan berbagai kompetisi. Keturunan berupa anak itu hakikatnya hanyalah amanah dari Allah. Bukan untuk dibanggakan, dipamerkan, diceritakan, melainkan untuk diasuh, dididik, dan disyukuri. Keturunan sejati membuat manusia senantiasa mensyukuri karunia Ilahi.

Keempat, pasangan hidup. Generasi digital-milenial saat ini seringkali galau kalau ditanya tentang pasangan hidup. Kapan menikah? Pertanyaan ini mendadak terasa sebagai kiamat nan mahadahsyat. Belum memiliki pasangan menjadi tragedi terbesar bagi kaum jomblowan dan jomblowati di seluruh dunia.

Jawaban teraman adalah sedang berupaya memantaskan diri. Padahal sebenarnya memang belum ditakdirkan bertemu jodoh yang sesuai. Bagi yang memang dapat berkarya dan sibuk berorganisasi, maka dapat menjadi jojoba, alias jomblo-jomblo bahagia.

Boleh jadi mereka ini tergolong jomblo high-quality.

Bagi yang telah berpasangan, berpotensi menjadi lupa diri. Seolah pasangannya raja, dewa, bidadari, atau permaisuri yang tidak pernah mati, sehingga melupakan Ilahi. Akhirnya kita cenderung tunduk atau takluk kepada pasangan, hanya demi membahagiakannya. Padahal bukan demikian.

Sejatinya, pasangan hidup ibarat pakaian, saling menutupi.

Ketika berumah tangga, sebaiknya suami-istri saling mengisi, saling memahami, saling pengertian. Dinamika kehidupan dirasakan bersama. Bila dijalani bersama, duka menjelma bahagia.

Pasangan sejati yang senantiasa meniti jalan kebenaran nan suci, bersama-sama memakmurkan bumi sesuai perintah ilahi, selalu berpedoman pada kitab suci, senang berbagi tanpa pamrih reputasi, menjadikan dunia tidak menguasai hati, maka pernikahannya akan lestari dan selalu diberkahi.

Kelima, karya. Manusia berkarya sesuai hobi, bakat, minat, passion, atau kemampuannya. Bagi penulis, maka buku merupakan masterpice baginya. Bagi penggemar kuliner, memasak menjadi andalannya. Bagi musikus, maka simfoni lagu adalah kebanggaannya. Bagi penyuka matematika atau fisika, dapat menciptakan formula atau rumus baru tentu merupakan karyanya. Bagi pebisnis, maka mendirikan perusahaan merupakan kesuksesannya. Bagi peneliti atau ilmuwan, maka publikasi adalah prestasinya.

Beragam karya umat manusia tetap tercatat oleh sejarah. Karya mereka menjadi sumber inspirasi bagi generasi berikutnya. Karya tersebut menjadi ilusi bila bertujuan duniawi. Karya itu menjadi hakiki, bila bertujuan ‘’menemukan’’ jatidiri dan menggapai rida Ilahi.

Keenam, relasi-reputasi. Seseorang dengan relasi luas, hidupnya relatif mudah dan berkelas. Semua hal dengan mudah dapat diatasi atas nama persahabatan.

Memiliki teman dokter, berarti terjamin kesehatannya. Memiliki sahabat insinyur, maka kenyamanan tinggal mudah diatur. Memiliki relasi pejabat tinggi, maka otomatis jalur birokrasi mudah teratasi. Memiliki kenalan pengusaha, maka imperium bisnis tercipta dengan cara sederhana.

Relasi bersahabat karib dengan reputasi. Keduanya resiprokal dan bersinergi. Manusia dengan relasi banyak, reputasinya cenderung cepat menanjak.

Sahabat sejati adalah diri kita sendiri dalam rupa orang lain. Perspektif filosofis itu berbeda dengan paradigma sufistik, yakni: sahabat sejati membawa seseorang mendekati Ilahi. Inilah hakikat persahabatan abadi. Persahabatan inilah yang membuat relasi juga ‘’abadi’’, karena tidak berambisi duniawi.

Ketujuh, teknologi-informasi. Di era digital-milenial, pencipta teknologi dan penguasa informasi menguasai dunia. Sehingga tidaklah mengherankan, banyak perusahaan mengumpulkan database informasi (big data) sebagai sumber kehidupan.

Era digital menjadi lahan kompetisi antarnegara pemilik teknologi dan penguasa informasi. Mereka menjadikan teknologi-informasi sebagai sarana untuk mengeksploitasi sumber kekayaan alam sekaligus memikat generasi milenial dengan tawaran kesejahteraan melalui riset dan kemajuan.

Idealnya, teknologi-informasi menjadi sarana berbagai bangsa di dunia untuk saling berkolaborasi demi kejayaan peradaban.

Teknologi-informasi bermanfaat dan bermakna bila dipergunakan sesuai tujuan dan bersumberkan kebenaran. Era digital membawa tsunami informasi, yang berpotensi menenggelamkan netizen ke dalam samudra kebingungan nan mahaluas tak bertepi. Literasi digital-intelektual-spiritual, berpondasikan iman kepada Tuhan, berbasis riset dengan metode-metodologi yang valid-reliabel, merupakan benteng pertahanan terkuat penangkal tsunami informasi, terutama berita hoax, ujaran kebencian, berita bohong, fitnah, gosip, dan sebagainya.

Budaya literasi digital-intelektual-spiritual akan membentuk generasi milenial yang sehat, pandai secara intelektual, matang dan dewasa secara mental, emosional, spiritual, serta berdaya secara finansial.

Kedelapan, cinta kasih. Cinta kasih ini serupa simalakama alias simulakra kehidupan. Cinta kasih dapat menyebabkan krisis maupun eksis. Krisis terbesar di dunia adalah krisis Cinta kasih. Betapa banyak “mahakarya” (magnum opus) juga bermula dari atau bersumberkan Cinta kasih. Sehingga Cinta kasih dapat menjadi sumber permasalahan, sekaligus menjadi solusinya.

Bagaimanapun jua, bila Cinta kasih ditujukan semata duniawi, maka tiada sejati. Bila bertujuan ukhrawi, maka cinta kasih menjadi abadi nan sejati. Maksudnya, Cinta kasih kepada manusia sewajarnya saja, sebab kondisi “hati” manusia berbolak-balik dan fluktuatif.

Sekarang penuh Cinta, siapa tahu besok berubah benci. Jadi, filosofi “mencinta hingga terluka” dan “menebar kasih hingga perih” idealnya ditujukan hanya kepada sang Pemilik Cinta, yakni Allah SWT. Dengan demikian, “kebahagiaan sejati” dapat dirasakan selamanya.

Kemuliaan peradaban manusia bermula dari kejayaan bangsa. Bangsa besar terus belajar dari sejarah. Sejarah pun berulangkali menyeru kepada manusia untuk mewaspadai topeng-topeng kehidupan.

Kehidupan akan terasa nyaman dan menjadi sejahtera bila umat manusia bijaksana dan berhati-hati saat memakai serta memaknai topeng-topeng kehidupan. Kehidupan sejati bersama Ilahi pastilah berujung kemuliaan. (Antara)

Penulis adalah Dokter Rakyat di Kampus Desa Indonesia, dokter literasi digital, penulis puluhan buku berlisensi BNSP, pendidik di FKIK Unismuh Makassar, kandidat PhD di IPCTRM School of Medicine Taipei Medical University Taiwan.

 


Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Suara Kita Terbaru