Guru Moral Pengembang Peradaban


 Guru Moral Pengembang Peradaban Willian Shakespeare adalah sebagian kecil dari guru moral pengembang peradaban umat manusia sepanjang sejarah. (Net)

Oleh: M Sunyoto

PARA politikus yang naik peringkat menjadi negarawan memperlihatkan jatidiri mereka kepada publik bahwa mereka sudah tidak lagi berpikir, berkata dan berbuat atas dasar kepentingan kelompok, golongan, partai politik tertentu tapi demi kemaslahatan bangsa secara keseluruhan.

Itu sebabnya, mereka yang masih berjuang dalam bingkai kepentingan partai politik, sulit untuk meningkatkan kelas menuju jagat kenegarawanan. Yang berpotensi menjadi negarawan adalah mereka yang sudah selesai dengan urusan berebut kekuasaan.

Negarawan bisa disepadankan dengan predikat guru bangsa. Beberapa orang yang sudah tutup usia seperti Gus Dur, Nurcholish Madjid pernah dijuluki sebagai guru bangsa.

Selain guru bangsa, yang pengaruhnya untuk kepentingan pemajuan nilai-nilai keutamaan sebatas wilayah nasional, ada yang lebih luas jangkauannya, yakni guru moral yang berjasa dalam mengembangkan peradaban umat manusia skala global.

Siapa mereka? Tak lain dan tak bukan adalah para penulis yang karya-karya abadi mereka dibaca umat manusia sepanjang sejarah. Tentu mereka adalah sebagian kecil dari guru moral pengembang peradaban umat manusia sepanjang sejarah.

Para penulis, antara lain novelis besar seperti Leo Tolstoy, Charles Dickens, Willian Shakespeare melahirkan karya-karya yang dibaca dan dikagumi oleh generasi ke generasi pembaca dunia.

Dari pena Tolstoy pembaca semakin mendapat penguatan pemahaman bahwa ketamakan, silau oleh kekayaan duniawi adalah sumber petaka banyak keluarga-keluarga bangsawan di Rusia. Tolstoy adalah penafsir jitu dan memukau atas kalimat profetis bahwa cinta akan harta adalah sumber alias akar kejahatan.

Mirip-mirip suara yang digaungkan Tolstoy, novelis besar Gustav Flaubert menghibur pembaca dengan narasi agungnya lewat Madam Bovary. Nyonya yang mengkhianati suaminya karena gila kekayaan itu mengakhiri jalan hidupnya secara tragis. Namun hidup agaknya berisi beribu-ribu kisah tentang tragedi.

Di tengah kemelaratan yang menimpa jutaan umat manusia, nafsu ketamakan tak pernah berhenti. Pemujaan terhadap kemewahan terus dipertontonkan oleh kaum yang kebutuhannya tak pernah dihalang-halangi oleh kapitalisme. Justru di situlah letak relevansi karya-karya pengarang yang mengajak umat manusia untuk tak henti-hentinya berempati, bersimpati, merawat kepedulian terhadap sesama yang kurang beruntung.

Tak cuma terbatas pada urusan materialisme, persoalan moral umat manusia juga menyangkut nilai-nilai imaterial. Tak jarang kesengsaraan yang dialami umat manusia juga diakibatkan oleh perkara esoterik, keimanan, kejujuran dan kerendahhatian yang tak berkaitan langsung dengan materialisme, sekalipun kalau ditelusuri lebih jauh bisa sampai ke aspek atau masalah yang kasat mata itu.

Pada titik inilah publik pembaca novel dunia berterima kasih antara lain kepada Umberto Eco, yang menulis The Name of The Rose, kisah memukau tentang para rahib di Zaman Kegelapan di Eropa.

Tentu jauh dari semangat menggurui, dengan teknik bercerita yang dirancang secara matang, pengarang yang juga menulis The Foucault's Pendulum itu melakukan kerja profetis dengan menciptakan protagonis idealnya bernama William Baskerville yang cerdas, cerdik, tenang tak tergopoh-gopoh menilai kebidahan orang-orang yang dituduh sesat iman dalam pengadilan inkuisisi, yang hampir pasti mengirim tertuduh ke tungku pembakaran manusia.

Novel yang versi Indonesianya diterjemahkan oleh Nin Bakdi Soemanto dengan bagusnya itu bisa menjadi panduan ciamik bagi pembaca ketika harus berhadapan dengan perkara kebenaran esoterik. Eco dengan piawainya mengingatkan pembaca, lewat mulut sang protagonis William, bahwa musuh kebenaran bisa datang dari kaum rohaniman, dalam konteks kisah Abad Pertengahan itu adalah sang rahib.

Sulit menemukan tandingan pengajaran tentang moral iman yang sepadan dengan apa yang didedahkan Eco dalam novelnya, terutama ketika diletakkan dalam bingkai kejadian atau kasus konkret. Itu sebabnya, para penganjur nilai-nilai moral agaknya tak berlebihan bila diwajibkan membaca karya yang menjadi laris secara antarbangsa itu.

Dari drama-drama Shakespeare, moralitas yang berhubungan dengan kekuasaan bisa diunduh hikmahnya. Penyair dan penulis drama Inggris itu memperlihatkan ironi kekuasaan dan kepedihan yang tak berbelas kasih yang dialami para penguasa.

Idem ditto dengan naskah drama Shakespeare, penyair Goenawan Mohamad juga mencoba ikut menggubah kisah tragis para penguasa dalam karyanya bertajuk Amangkurat, yang mencekam dan menggetarkan.

Kisah-kisah keganasan dan kegetiran seputar kekuasaan itu bisa dijadikan peneguhan bahwa demokrasi yang sedang diterapkan di penjuru dunia saat ini adalah sebuah berkah, hadiah terindah peradaban, yang menjauhkan para pemimpin dari baku bantai saat kekuasaan diperebutkan.

Kisah-kisah perbudakan di masa silam juga mengingatkan pembaca bahwa kemampuan manusia untuk berbuat jahat begitu luar biasa sehingga manusia harus terus-menerus diingatkan diajak untuk tak henti-hentinya menghidupkan kesadarannya untuk eling dan waspada.

Tidaklah berlebihan bila seruan unuk membaca novel-novel besar dunia adalah bagian dari anjuran untuk memartabatkan dan memuliakan manusia, yang juga tak henti-hentinya digoda oleh hasrat nafsunya untuk berkuasa menghalalkan cara haram, mengumbar nafsu tamak dan cenderung mengorbankan orang lain ketimbang dirinya.

Tentu membaca novel bukan satu-satunya jalan, mungkin hanya salah satu jalan kecil, untuk mendapat pencerahan moral yang niscaya buat mengembangkan peradaban umat manusia. Meski demikian, ada salah satu kekuatan yang dimiliki oleh novel bahwa substansinya tak ditujukan untuk satu kaum, satu puak, pengikut satu keyakinan, satu ras. Karya-karya itu ditujukan buat semua, buat umat manusia yang mencintai nilai-nilai universal.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Suara Kita Terbaru