Loading
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mengatakan saat ini perempuan masih dibayangi dengan perkawinan di usia yang sangat muda.
"Perkawinan bukan hal yang buruk bila dilakukan saat usia yang tepat dengan persiapan matang. Perkawinan usia anak justru akan membawa permasalahan baru bagi kaum perempuan," kata Yohana melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (21/4/2018).
Permasalahan yang muncul dari perkawinan anak dimulai dari hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan kemudian risiko ancaman dari penyakit reproduksi seperti kanker serviks dan kanker payudara.
Perkawinan pada usia anak juga terancam mengalami keretakan keluarga rumah tangga karena ketidaksiapan mental mereka dalam membangun keluarga, sehingga menimbulkan perceraian.
Karena itu, tepat pada peringatan Hari Kartini, Yohana berharap tidak ada lagi perkawinan yang terjadi pada anak perempuan yang belum siap menjalani kehidupan rumah tangga.
"Mari kita hentikan perkawinan anak," ujarnya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pernah melakukan penelitian pada 2016 tentang jenjang pendidikan yang ditempuh oleh perempuan usia 20 tahun hingga 24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan di bawah atau di atas 18 tahun.
Hasilnya, 94,72 persen perempuan usia 20 tahun hingga 24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun putus sekolah, sementara yang masih bersekolah hanya sebesar 4,38 persen.
Council of Foreign Relations mencatat bahwa Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh Negara atau tepatnya di urutan ketujuh dengan angka absolut pengantin anak tertinggi di dunia dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 melakukan riset mengenai jenjang pendidikan yang ditempuh oleh perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan di bawah atau di atas 18 tahun.
Hasilnya cukup memprihatinkan, sebesar 94,72% perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun putus sekolah, sementara yang masih bersekolah hanya sebesar 4,38%.
Hal ini menjadi miris, karena kaum perempuan masih dibayangi momok untuk melakukan perkawinan di usia muda, tidak hanya di zaman Kartini tapi juga di zaman now.
"Perkawinan bukanlah hal yang buruk jika dilakukan di usia yang tepat dengan persiapan yang matang. Perkawinan di usia anak justru akan membawa permasalahan baru bagi kaum perempuan," ungkap Menteri Yohana.
Dia menambahkan, perkawinan usia muda akan membuat seorang perempuan kehilangan mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan, risiko ancaman dari penyakit reproduksi, seperti kanker serviks, kanker payudara, dan juga hidup dalam keretakan keluarga karena ketidaksiapan mental mereka dalam membangun keluarga, sehingga menimbulkan perceraian.
Menteri Yohana berharap kaum perempuan muda Indonesia mampu menentukan masa depannya dengan mengutamakan pendidikan.
“Kalianlah para penerus estafet mimpi-mimpi R.A Kartini untuk memajukan bangsa. Kaum perempuan mampu berkarya tidak hanya melulu dengan urusan sumur dapur kasur, tetapi juga di ranah publik. Saya optimis kaum perempuan yang menjadi Kartini masa kini mampu meneruskan mimpi Kartini di masa yang akan datang,” tambahnya. (Jack Gobang)