Pro-Kontra Hukuman Mati Terdakwa Korupsi Asabri


 Pro-Kontra Hukuman Mati Terdakwa Korupsi Asabri Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat (Net)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Beragam tanggapan, muncul usai Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut agar majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman mati terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat. Jaksa meyakini Heru terbukti bersama-sama sejumlah pihak lainnya telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana PT Asabri (Persero) yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 triliun.

Salah satu diantaranya adalah, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia  (MAKI) Boyamin Saiman. Ia mengapresiasi tuntutan hukuman mati Heru Hidayat. Langkah itu kata Boyamin menjadi solusi pemberantasan korupsi yang lebih baik.

Boyamin menilai, jaksa layak menuntut Heru dengan hukuman mati. Hal ini mengingat selain perkara dugaan korupsi Asabri yang merugikan keuangan negara Rp 22,78 triliun, Heru juga terjerat perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya. Heru telah divonis penjara sumur hidup dalam perkara korupsi Jiwasraya yang merugikan negara Rp16,80 triliun itu.

Perbuatan Heru juga dinilai masuk dalam kategori kejahatan luar biasa. Tuntutan pidana mati dinilai layak dijatuhkan mengingat sejumlah preseden pengulangan perbuatan yang dilakukan terpidana korupsi. Dicontohkan, Dicky Iskandar Dinata yang membobol kas bank sebesar Rp811 miliar itu. Mulanya Dicky dihukum 8 tahun penjara pada 26 Mei 1992.

Setelah keluar penjara, Dicky kembali mengulangi perbuatannya. Dicky membobol BNI sebesar Rp 1,3 triliun pada 2005. Jaksa kemudian menuntutnya penjara seumur hidup, tapi hakim memvonisnya 20 tahun penjara. "Heru ini meski tidak pengulangan, tapi secara bersama korupsi yang dianggap besar, di Jiwasraya dan Asabri," kata Boyamin.

Berbeda dengan Boyamin, pakar hukum pidana Nur Basuki Minarno menilai tuntutan hukuman mati terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat yang menjadi terdakwa perkara dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asabri (Persero). Salah satunya lantaran ancaman hukuman mati yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak masuk dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum terhadap Heru Hidayat. “Yang pertama alasananya karena Pasal 2 ayat (2) UU Korupsi (UU Tipikor) tidak masuk di dalam surat dakwaan (dari JPU),” kata Nur Basuki kepada wartawan, kemarin.

Nur Basuki yang juga guru besar hukum pidana Universitas Airlangga (Unair) mengatakan JPU hanya mencantumkan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dalam surat dakwaannya. Dalam pasal tersebut, katanya, tidak ada ancaman pidana hukuman mati terhadap terdakwa. Ancaman pidana hukuman mati justru terdapat pada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang tidak disertakan dalam surat dakwaan JPU terhadap Heru Hidayat.

Menurutnya, Pasal 2 ayat (2) harus dicatumkan dalam surat dakwaan, sehingga jaksa bisa menuntut pidana mati. Karena di dalam Pasal 2 ayat (2), nanti JPU harus membuktikan bahwa korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu. Karena di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, keadaan tertentu itu adalah keadaan di mana terjadi bencana alam, krisis ekonomi atau melakukan pengulangan tindak pidana.

Selain itu, kata Nur Basuki, tindak pidana yang dilakukan oleh Heru Hidayat dalam kasus Asabri tidak masuk dalam kategori pengulangan tindak pidana. Hal ini lantaran tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam perkara korupsi Jiwasraya hampir bersamaan dengan tindak pidana dalam perkara Asabri. Menurut Nur Basuki, yang berbeda dari keduanya hanya waktu penuntutan perkara Jiwasraya lebih dahulu diproses dari perkara Asabri.

Menurut Nur Basuki, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam perkara Jiwasraya dan Asabri masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. Hal ini berarti seseorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri.

“Ini merupakan konkursus, dalam ilmu hukum namanya konkursus realis. Jadi, melakukan beberapa perbuatan pidana, yang masing-masing perbuatan itu diancam dengan pidananya sendiri-sendiri. Jadi, tidak tepat kalau jaksa memberikan pemberatan kepada Heru Hidayat dengan alasan bahwa Heru Hidayat itu telah melakukan pengulangan tindak pidana,” jelasnya.


Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Hukum & Kriminalitas Terbaru